Nafsu Berkelanjutan, Rakyat dikecewakan!
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terkait kasus suap yang melibatkan pejabat Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT) dan pejabat serta auditor Badan Pemeriksa Keuangan RI. Pada kasus ini, KPK sedang mempelajari temuan tidak wajar Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tentang penggunaan dana sekitar Rp 975 milyar sebagai bentuk honorarium pendampingan pada Kementerian Desa yang belum dibayarkan. Kasus dugaan suap yang ditangani KPK tersebut terkait pemberian opini wajar tanpa pengecualian (WTP) oleh BPK RI terhadap laporan keuangan Kemendes PDTT tahun anggaran 2016.
Dari kantor BPK, lanjut Agus, KPK sempat mengamankan enam orang, yakni pejabat Eselon I BPK Rochmadi Saptogiri (RS), Auditor BPK Ali Sadli (ALS), pejabat eselon III Kemendes PDTT Jarot Budi Prabowo (JBP), sekretaris RS, sopir JBP, dan satu orang satpam. KPK kemudian melakukan penggeledahan di sejumlah ruangan di kantor BPK. Di Kemendes PDTT, lanjut Agus, KPK menyegel empat ruangan, di antaranya ruangan Sugito dan ruangan Jarot Budi Prabowo.
Menurut jaksa, awalnya hasil pemeriksaan BPK atas laporan keuangan Kemendes tahun 2015 menyatakan opini wajar dengan pengecualian (WDP). Untuk itu, Sugito menargetkan Kemendes bisa memperoleh opini WTP pada laporan keuangan 2016. KPK menyimpulkan adanya dugaan tidak pidana korupsi penerimaan hadiah atau janji terkait dengan pemeriksaan BPK RI terhadap laporan keuangan Kemendes PDTT tahun anggaran 2016. KPK menemukan dugaan korupsi dalam bentuk suap terkait pemberian opini wajar tanpa pengecualian (WTP) oleh BPK RI terhadap laporan keuangan Kemendes PDTT tersebut.
Pendapat :
Dalam penanganan kasus untuk mendapatkan opini BPK berupa WTP adalah tujuan dari banyak pihak terutama kementerian/lembaga atau pemprov/pemkot/pemkab untuk melakukan penyuapan atau apapun jenisnya. Apalagi di jaman Pemerintahan Jokowi menargetkan pada 2015 opini WTP di lingkungan pemerintah mencapai 60% dan pada tahun 2017 mencapai 100%.
Peristiwa memalukan ini merupakan tamparan bagi Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), apalagi melibatkan kementerian serta lembaga pemeriksa negara yang seharusnya menjaga etika, integritas, obyektivitas dan kehati-hatian profesional.
Hasil WTP masih dianggap suatu pencapaian yang prestise bagi pejabat kementerian/lembaga atau pemprov/pemkot/pemkab serta memberikan persepsi positif bahwa pemerintahan maupun keuangannya telah dikelola secara akuntabel, transparan dan terbebas dari korupsi. Esensi pemberian WTP sebenarnya ingin melihat apakah laporan keuangan yang disajikan wajar dan telah sesuai dengan standar akuntansi pemerintah.
Standar etika diperlukan bagi profesi audit karena auditor memiliki posisi sebagai orang kepercayaan dan menghadapi kemungkinan benturan-benturan kepentingan. Auditor banyak menghadapi dilema etika dalam melaksanakan tugasnya. Bernegosiasi dengan auditan jelas merupakan dilema etika. Ada beberapa alternatif pemecahan dilema etika, tetapi harus berhati-hati untuk menghindari cara yang merupakan rasionalisasi perilaku tidak beretika.
Seorang auditor harus selalu memupuk dan menjaga kewaspadaannya agar tidak mudah takluk pada godaan dan tekanan yang membawanya ke dalam pelanggaran prinsip-prinsip etika secara umum dan etika profesi. Etis yang tinggi, mampu mengenali situasi-situasi yang mengandung isu-isu etis sehingga memungkinkan untuk mengambil keputusan atau tindakan yang tepat.
Dari sisi pemerintahan sebaiknya administrasi yang melibatkan uang sebagai bentuk dari transfer dana daerah bisa lebih diperhatikan. Dalam transfer dana seharusnya dikawal ketat dari tingkat daerah sampai pusat maupun sebaliknya. Mungkin bisa menggandeng institusi seperti kepolisian dan TNI. Sedangkan dari institusi seharusnya dapat berlaku adil dan transparan dalam penyampaian laporan keuangan yang akan dilihat oleh masyarakat. Karena jika terjadi kembali penyalahgunaan kekuasaan akan berakibat penurunan kepercayaan masyarakat terhadap institusi yang seharusnya menjaga etika dalam bekerja secara profesional.
Undang – undang yang mengatur juga harus mendukung dalam hal memperkecil peluang terjadinya tindak korupsi dalam bentuk penyuapan. Misalnya seperti hukuman mati terhadap pelaku korupsi sehingga hukuman ini menjadi jera bagi para penikmat nafsu sementara. Solusi lain dalam kasus ini harus terjalin komunikasi yang baik antara kepala negara, institusi, kementerian untuk saling menjaga kejujuran di dalam diri.
Referensi :
Komentar
Posting Komentar
Silahkan di komen yaa